A. Pendahuluan
Gelombang serba teknologi dalam kehidupan dunia sekarang, disadari atau tidak. Dipuja secara berlebihan dan menyebabkan kita tak sempat lagi menoleh pada unsur-unsur kebudayaan daerah, khususnya yang bersifat tradisional. Hal ini mungkin saja terjadi karena kebudayaan daerah sering dianggap tidak kontekstual lagi dengan kondisi kekinian.
Gelombang serba teknologi dalam kehidupan dunia sekarang, disadari atau tidak. Dipuja secara berlebihan dan menyebabkan kita tak sempat lagi menoleh pada unsur-unsur kebudayaan daerah, khususnya yang bersifat tradisional. Hal ini mungkin saja terjadi karena kebudayaan daerah sering dianggap tidak kontekstual lagi dengan kondisi kekinian.
Merebaknya
tatanan nilai budaya global membawa pengaruh cukup signifikan terhadap
tatanan nilai budaya lokal. Dengan tidak disadari, Jawa Barat memiliki
peluang, dimana aset atau warisan budaya kurang mendapat perhatian kita,
padahal sebenarnya aset atau warisan budaya itu dapat dipelihara,
diperkenalkan, dan dimanfaatkan untuk dan oleh masyarakat pada umumnya.
Di
samping fungsinya sebagai sarana sosialisasi dan pengokoh norma, dari
segi tampilannya sebagai kampung adat, maka Kampung Naga tampaknya bisa
bermanfaat sebagai aset budaya.
Pada
akhirnya, semua ini berpulang kepada manusia sebagai penyandang atau
pelaku kebudayaan, apakah akan membuat kebudayaan daerah yang merupakan
puncak-puncak kebudayaan nasional itu dihargai atau sebaliknya
ditinggalkan. Oleh karena itulah merevitalisasi nilai lama yang positif
dan relevan agar tetap hidup di tengah-tengah masyarakat global,
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dalam hal ini Balai Pelestarian
Sejarah dan Nilai Traisional berkepentingan untuk mengadakan kegiatan
perekaman dan pendokumentasian salah satu kampung adat. Hasil perekaman
tersebut ditayangkan di hadapan para siswa-siswi SLTA secara bergilir di
wilayah kerja Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional yang
salah satunya kita kita saksikan sekarng ini. Diharap dengan penayangan
film dokumenter budaya ini bisa dipetik nilai-nilai yang ada di balik
objek penayangan film Kampung Naga dimaksud.
B. Mengenal Kehidupan Masyarakat Kampung Naga
Kampung Naga, satu dari sekian kampung-kampung adat yang ada di Jawa Barat. Kampung Naga terletak tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan daerah Garut dengan Tasikmalaya. Kampung ini berada pada suatu lembah yang subur, dilalui oleh sebuah sungai bernama Sungai Ciwulan yang bermata air di Gunung Cikuray di daerah Garut.
Kampung Naga, satu dari sekian kampung-kampung adat yang ada di Jawa Barat. Kampung Naga terletak tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan daerah Garut dengan Tasikmalaya. Kampung ini berada pada suatu lembah yang subur, dilalui oleh sebuah sungai bernama Sungai Ciwulan yang bermata air di Gunung Cikuray di daerah Garut.
Secara
administratif, Kampung Naga berada di wilayah Desa Neglasari Kecamatan
Salawu Kabupaten Tasikmalaya. Dari Tasikmalaya ke Kampung Naga sekira
berjarak 30 kilometer. Untuk mencapai kampung tersebut dari arah jalan
raya Garut – Tasikmalaya, harus menuruni anak tangga hingga Sungai
Ciwulan dengan kemiringan tanah 45 derajat.
Penduduk
Kampung Naga adalah penganut agama Islam yang taat, di samping masih
memegang teguh adat istiadat yang secara turun temurun berasal dari
nenek moyang mereka. Karena areal Kampung Naga terbatas, sehingga tidak
memungkinkan lagi mendirikan rumah baru, maka banyak penduduk yang
termasuk adat sa-Naga bertempat tinggal di luar Kampung Naga maupun di
luar Desa Neglasari. Bahkan ada di antara mereka yang bertempat tinggal
di kota Garut, Tasikmalaya, Bandung dan Cirebon. Mereka ini pun masih
taat menjalankan adat istiadat warisan nenek moyang mereka yang berpusat
di dalam Kampung Naga. Semisal, pada saat diselenggarakan adat dan
upacara adat sa-Naga yang dipusatkan di Kampung Naga, mereka memerlukan
datang ke Kampung Naga untuk melaksanakannya bersama-sama.
Nenek
moyang orang Kampung Naga (sa-Naga) yang menurunkan keturunan dan adat
istiadat Naga adalah Eyang Singaparana. Makamnya berada di wilayah hutan
di sebelah barat Kampung Naga. Makam Eyang Singaparana dianggap makam
keramat yang selalu diziarahi pada saat akan diadakan atau dilakukan
penyelenggaraan upacara-upacara adat atau yang lainnya, baik oleh warga
masyarakat Kampung Naga yang berada di sana maupun orang-orang keturunan
yang termasuk ke dalam adat sa-Naga.
Sebagai
rasa hormat kepada nenek moyangnya, maka orang-orang Naga selalu patuh
menjalankan dan memelihara adat istiadat dan kebiasaan yang berasal dari
nenek moyang mereka, semisal sistem religi dan upacara, sistem mata
pencaharian, sistem pengetahuan, sistem peralatan hidup/teknologi,
sistem organisasi kemasyarakatan, kesenian, dan bahasa. Mereka tetap
kukuh dalam memegang teguh falsafah hidup yang diwariskan nenek
moyangnya dari generasi ke generasi berikutnya, dengan tetap
mempertahankan eksistensi mereka yang khas. Kebiasaan yang dianggap
bukan berasal dari nenek moyangnya dianggap tabu untuk dilaksanakan
dalam kehidupan sehari-hari.
Kekhasan
dari Kampung adat Naga selain yang di sebutkan di atas ialah arsitektur
bangunannya yang membedakan arsitektur bangunan pada umumnya. Mulai
dari letak, bentuk, arah rumah, bahan-bahan pembuat rumah, pola
perkampungan, sampai kepada perilaku kehidupan sehari-hari ditaati
sebagai ketentuan yang digariskan leluhur. Pelanggaran terhadap
ketentuan tersebut dianggap sebagai pelanggaran adat yang dapat
membahayakan bukan saja bagi si pelanggar, tetapi juga bagi seluruh isi
Kampung Naga dan bagi orang-orang sa-Naga.
Selain
bentuk, arah dan letak rumah disesuaikan dengan keaadaan lingkungan,
maka pola perkampungan disesuaikan dengan keadaan tanah yang ada.
Kampung Naga terletak pada suatu areal tanah yang tidak sama
ketinggiannya. Karena keadaan tanah yang demikian itu maka rumah-rumah
di Kampung Naga didirikan pada ketinggian tanah yang berbeda-beda.
Karena itu tampaknya rumah itu tersusun bertingkat-tingkat dari bagian
tanah yang paling tinggi hingga bagian tanah yang paling rendah. Deretan
rumah yang satu lebih rendah dari deretan rumah yang lain, dibatasi
oleh sengked-sengked batu yang disusun sedemikian rupa, sehingga
tanah-tanah yang lebih tinggi tidak mudah longsor. Deretan rumah yang
demikian menambah keindahan bila dilihat dari tempat yang lebih tinggi.
Sekeliling
kampung dipagari dengan pagar bambu atau pagar hidup, sehingga
batas-batas kampung tampak jelas sekali. Dilihat dari pola atau
bentuknya, Kampung Naga berpola mengelompok dengan tanah lapang atau
tanah kosong di bagian tengah yang dipergunakan untuk arena bermain
anak-anak diwaktu senggang sehabis bersekolah dan membantu pekerjaan
orang tua mereka. Sedangkan dibagian muka kampung terdapat kolam.
Seluruh rumah dan bangunan-bangunan yang ada atapnya memanjang arah
barat ke timur, pintu memasuki kampung terletak di sebelah timur,
menghadap ke sungai Ciwulan. Di bagian sebelah barat lapang terdapat
bangunan masjid dan pancuran, sejajar dengan masjid terdapat bangunan
yang dianggap suci yang dinamakan Bumi Ageung, sebuah bangunan rumah
tempat menyimpan barang-barang pusaka serta rumah kuncen (Kepala Adat). Selain itu, terdapat bangunan tempat menyimpan hasil pertanian berupa padi yang disebut leuit.
Dalam
pelaksanaan kehidupan sehari-hari di Kampung Naga dapat dilihat dua
unsur kepemimpinan yang satu sama lain bekerjasama mengatur keharmonisan
hidup masyarakat Kampung Naga khususnya dan masyarakat Desa Neglasari
pada umumnya, sehingga kedua macam kepemimpinan masyarakat tersebut
dapat berjalan harmonis sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Ketua adat dalam hal ini kuncen, dalam beberapa hal tunduk kepada ketua
RK dan ketua RT terutama dalam hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari
yaitu yang berhubungan dengan sistem pemerintahan desa. Sedangkan ketua
RK dan ketua RT juga tunduk kepada ketua adatnya di dalam kehidupan
yang berhubungan dengan adat istiadat dan kehidupan kerohanian
masyarakat.
Selanjutnya
dalam hal berkesenian, masyarakat Kampung Naga masih memiliki dan masih
memiliki jenis kesenian yang dianggap warisan nenek moyang, sehingga
harus dipertahankan kelestariannya sejajar dengan adat kebiasaan yang
diwariskan secara turun-temurun. Jenis-jenis kesenian tersebut adalah
terbangan, angklung, dan beluk. Kesenian ini selain merupakan alat
hiburan bagi masyarakat Kampung Naga juga dipergunakan untuk mengiringi
upacara-upacara adat, seperti upacara sasih, upacara berziarah ke kubur
keramat nenek moyang dan upacara yang berhubungan dengan bulan-bulan
suci atau agung dalam Islam, misalnya bulan Muharram, Maulud, hari Raya
Idulfitri, dan sebagainya. Penggunaan bahasa, secara umum masyarakat
Kampung Naga masih menggunakan bahasa Sunda sebagai alat komunikasi dan
bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya, di samping mereka juga
mampu berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia.Sumber: Pemangku adat Kampung Naga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar